Selayang Pandang Civic Education
oleh: Wahdi Sayuti
Post date: 19-Oct-2009 20:17:50
Pengantar
Demokrasi-oleh banyak pihak-dianggap sebagai suatu sistem yang kehidupan yang dapat menjamin warga masyarakat mencapai kehidupan yang sejahtera. Sejalan dengan keyakinan tersebut, dewasa ini banyak bangsa-bangsa di dunia, termasuk di Indonesia tengah melakukan transformasi dan transisi menuju masyarakat demokratis setelah lebih dari 30 tahun berada dalam kekuasaan otoriter. Demokratisasi bukanlah sesuatu “barang” yang mudah diperoleh dan sederhana untuk direalisasikan, melainkan suatu proses yang sangat rumit dan membutuhkan kesiapan dan dukungan semua pihak untuk merealisasikannya, termasuk di dalamnya bagaimana membangun struktur dan kultur yang demokratis.
Proses demokrasi tanpai dibarengi dengan struktur dan kultur yang demokratis hanya akan menjadikan proses tersebut sebagai sebuah reaksi atas trauma politik masa lalu yang tidak memiliki arah. Dengan kata lain, untuk membangun masyarakat yang demokratis harus dibarengi dengan suatu rekayasa sistemik untuk membangun struktur sosial politik dan kultur yang demokratis. Upaya membangun kultur demokrasi tersebut, menurut Almond harus melewati 3 (tiga) tahap. Pertama, pengembangan institusi yang demokratis. Kedua, menciptakan kondisi sosial dan personalitas individu yang mendukung terwujudnya demokrasi. Ketiga, mewujudkan struktur sosial dan kultur politik yang demokratis (Almond; 1996). Dalam konteks itu semua, maka pendidikan dianggap sebagai salah satu instrumen (sekalipun bukan satu-satunya) untuk membangun kultur demokrasi tersebut, melalui pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia dalam proses pendidikan, utamanya melalui pembelajaran Civic Education, mulai tingkat dasar, menengah sampai pada jenjang perguruan tinggi.
Beberapa Terminologi
Civic Education, sejatinya dipahami sebagai wahana pendidikan yang didesain untuk membina dan mengembangkan sikap warganegara yang baik, cerdas, kritis dan partisipatif (smart and good citizen) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik dalam konteks lokal, regional maupun internasional. Secara lebih sederhana, Civic Education dipahami sebagai wahana pendidikan demokrasi (democracy education) bagi warganegara. Menurut Azra, Pendidikan Demokrasi secara substantif menyangkut soisalisasi, diseminasi, aktualisasi dan implementasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik demokrasi melalui pendidikan (Azra, 2002: 166).
Dalam praktiknya, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) tersebut memiliki peristilahan yang berbeda, seperti Citizenship Education, Humanright Education dan Democracy Education. Di Inggris misalnya, menyebut Pendidikan Kewargaan (Civic Education) dengan Citizenship Education, yang pada tahun 2002 ini menjadi mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Inggris. Bahkan di negara-negara Arab-seperti Yordania dan Sudan-istilah Civic Education diterjemahkan dengan al-tarbiyah almuwathanah dan altarbiyah al-wathaniyah.
Pendidikan Kewargaan yang diidentikkan dengan pendidikan HAM (Humanright Education) mengandung pengertian aktivitas mentransformasikan nilai-nilai HAM kepada masyarakat agar tumbuh kesadaran akan penghormatan, perlindungan dan penjaminan HAM sebagai sesuatu yang kodrati dan dimiliki setiap manusia.
Menurut Azra, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM karena mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warganegara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warganegara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan kerjasama, keadilan sosial, pengertian antarbudaya dan kelestarian lingkungan hidup dan hak asasi manusia (Azra, 2001).
Di Indonesia, penerjemahan Civic Education mengalami beberapa penerjemahan, yakni istilah Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewrganegaraan, Istilah Pendidikan Kewargaan pada satu sisi identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Namun disisi lain istilah Pendidikan Kewargaan secara substantif tidak saja mendidik generasi muda menjadi warganegara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warganegara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian orientasi Pendidikan Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya dari istilah Pendidikan Kewarganegaraan.
Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan menurut Zamroni adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kepada generasi baru kesadaran bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat; demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain; kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan prilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat.
Menurut Merphin Panjaitan Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogal. Sementara menurut Soedijarto, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa; dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis.
Istilah-istilah lain yang pernah ada dalam sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia, antara lain adalah Kewarganegaraan (1957), Civics (1961), dan Pendidikan Kewarganegaraan (1968). Perkembangan arti Civics yang kemudian meluas menjadi Civic Education, menyangkut dan mengambil bahan-bahannya dari cabang ilmu-ilmu sosial, sehingga Civic Education kadang-kadang sukar dibedakan dari pengertian social studies, yaitu sebagai istilah program pembelajaran sosial.
Sejarah Perkembangan
Gerakan Community Civics pada tahun 1907 yang dipelopori W.A. Dunn adalah permulaan dari keinginan lebih fungsionalnya pelajaran bagi para siswa dengan menghadapkan mereka kepada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan Community Civics ini dimaksudkan pula bahwa Civics membicarakan pula prinsip-prinsip ekonomi dalam pemerintahan, usaha-usaha swasta, maupun masalah pekerjaan warganegara.
Hampir bersamaan dengan timbulnya gerakan Community Civics yang tersebut, ada lagi gerakan yang membarengi gerakan Community Civic tersebut, yaitu gerakan Civic Education atau banyak juga yang menyebut Citizenship Education. Alasan timbulnya gerakan Civic Education tersebut hampir sama dengan alasan Community Civics, tetapi dalam beberapa hal dapat diartikan luas.
Pada Juni 1995 dibentuk sebuah lembaga “Civitas Internasional” pada di Praha yang dihadiri oleh tidak kurang dari 450 pemuka pendidikan demokrasi dari 52 negara. Para peserta sepakat membentuk “Civitas Internasional” yang menyimpulkan pentingnya pendidikan demokrasi bagi penumbuhan “Civil Culture” untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintah demokratis (Democratic governmence).
Penumbuhan dan pengembangan civil culture dapat dikatakan merupakan salah satu tujuan penting pendidikan kewargaan (Civic Education). Tetapi harus segera diakui, sementara para ahli pendidikan kewargaan umumnya sepakat bahwa peranan pendidikan kewargaan dalam pengembangan demokrasi dan kewargaan demokratis telah jelas, tetapi dalam prakteknya masih terdapat perbedaan-perbedaan. Mereka sepakat bahwa demokrasi-demokrasi yang tengah tumbuh — seperti Indonesia sekarang — memerlukan sarana dimana generasi muda umumnya dapat menjadi tahu dan sadar tentang pengetahuan, keahlian, keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menyangga, memelihara dan melestarikan demokrasi. Tetapi, seperti dikemukakan Print, bagaimana semua hal itu bisa dicapai melalui pendidikan kewargaan tidaklah jelas ( Print 1999 : 11).
Pada beberapa negara Barat, seperti AS dan Australia, program pendidikan kewargaan telah menjadi bagian kurikulum sekolah setidak-tidaknya dalam satu dasawarsa terakhir.
Postulat yang berada dibalik penerapan pendidikan kewargaan di AS adalah bahwa pemeliharaan tradisi demokrasi tidak bisa diwariskan begitu saja; tetapi sebaliknya harus diajarkan, disosialisasikan, dan diaktualisasikan kepada generasi muda melalui sekolah. Lebih daripada postulat penting tersebut, dalam pandangan banyak ahli pendidikan dan demokrasi Barat, pendidikan kewargaan merupakan kebutuhan mendesak karena beberapa alasan kuat lainnya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political illeteracy, tidak melek politik dikalangan warganegara. Banyak warga barat, khususnya generasi muda tidak memiliki political literacy, tidak mengetahui persis cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya. Kedua, Meningkatnya political apathism, yang terlihat antara lain dari relatif sedikitnya jumlah warga negara yang memberikan suara dalam pemilu, atau terlibat dalam proses-proses politik lainnya.
Ruang Lingkup
Civic Education dalam konteks Perguruan Tinggi Islam diarahkan pada nation and character building dengan memiliki 3 materi pokok, yakni demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani. Ketiga core materials tersebut didukung dengan beberapa 6 pokok bahasan, yakni Identitas Nasional, Negara, Warganegara, Konstitusi, Otonomi Daerah dan Good Governance.
Biblioghraphie
Almond, Gabriel, The Civic Culture: Prehistory, Retrospect and Prospect, Center for the Study of Democracy, UC Irvine: Research Paper Series in Empirical Democratic Theory, No. 1., 1996
Azra, Azyumardi, Prof. Dr., Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantra, 2002.
______, Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi di Dunia Muslim, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional II “Civic Education di Perguruan Tinggi”, Mataram, 22-23 April 2002
_____, Pendidikan Kewargaan Untuk Demokrasi di Indonesia, Makalah Seminar Nasional Pendidikan Kewargaan (Civic Education) di Perguruan Tinggi, Jakarta, 28-29 Mei 2001
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, Edisi Revisi, 2003.
Print, Murray, James Ellickson-Brown dan Abdul Rozak Baginda (eds.) Civic Education for Civil Society, London: ASEAN Academic Press, 1999
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan Menuju Civil Society, BIGRAF Publishing, Yogyakarta, 2001
* Disampaikan dalam acara Workshop on Civic Education bagi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 22 Agustus 2003 di Dirga Cibulan, Cisarua-Bogor